FOREMOST: Peluang Menyulut Harapan, Tantangan Menata Kembali Keluarga dari Masjid

Oleh : Robin Raharja, S.Pd.I

(Penyuluh Agama Islam Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan)

Sebuah peristiwa suci 12 tahun silam terpatri kuat dalam benak penulis: ijab kabul seorang santri menggema di Masjid Jami’ At-Taqwa, disaksikan jamaah yang memadati ruang masjid. Kala itu, masjid menjadi saksi sakral penyatuan dua insan, bukan sekadar tempat ibadah ritual, melainkan pusat kehidupan sosial-keagamaan.
Namun, realitas hari ini berubah. Di sejumlah desa, pemandangan pernikahan di masjid mulai hilang.

Bahkan, masjid kehilangan fungsi sosialnya sebagai ruang pembinaan keluarga. Maka ketika Kementerian Agama meluncurkan program FOREMOST (Family Orientation at the Mosque’s Site), asa itu seperti mendapat nyawa kembali. Sebuah peluang besar untuk menghidupkan kembali masjid sebagai pusat pembinaan keluarga toyyibah.

Program FOREMOST bukan sekadar slogan spiritual. Ia adalah seruan untuk mengembalikan keluarga sebagai pondasi bangsa. Keluarga yang baik adalah cerminan masyarakat yang sehat, dan bangsa yang kuat. Maka membangun peradaban madani, idealnya memang dimulai dari sepasang suami-istri yang siap mental, spiritual, dan sosial.
Kemenag tak bergerak sendiri. Melalui program BRUS (Bimbingan Remaja Usia Sekolah), pemerintah mencoba merangkul Gen-Z agar sadar akan bahaya pernikahan dini.

Pendekatan edukatif dan preventif ini menjadi tahap awal dalam merancang ketahanan keluarga sejak remaja.

Lalu, menyusul program Bimbingan Perkawinan (Binwin) yang kini menjadi kewajiban bagi setiap calon pengantin. Di Gunung Megang, Muara Enim, kolaborasi Binwin menggandeng Puskesmas, BKKBN, hingga Polsek. Materi yang dibawakan tidak hanya soal agama, tetapi juga kesehatan reproduksi, dinamika psikologis, hingga ancaman narkoba dan judi online.

Sebuah bentuk sinergi lintas sektor untuk menciptakan rumah tangga yang siap menghadapi tantangan zaman.

Tapi tantangan baru muncul. Angka perceraian melonjak, bahkan di kalangan pasangan usia muda. Data Mahkamah Agung mencatat lebih dari 600 ribu kasus perceraian dalam lima tahun, terutama pada usia pernikahan 1–5 tahun.

Bahkan, gelombang baru muncul: gugat cerai massal oleh para guru PPPK setelah menerima SK pengangkatan. Di Pandeglang, Blitar, hingga Jawa Barat, fenomena ini seolah menjadi gejala sosial baru.
Apa yang salah? Mengapa stabilitas rumah tangga justru rapuh setelah kepastian ekonomi didapat? Mengapa banyak istri menggugat setelah karier mulai menanjak?.

Fakta ini menyentak kesadaran kolektif kita. Bahwa ketahanan rumah tangga tak bisa dibangun hanya dengan SK kerja dan gaji tetap. Ia membutuhkan relasi emosional yang sehat, komunikasi yang jujur, dan spiritualitas yang kokoh.

Di sinilah FOREMOST menjadi peluang sekaligus tantangan: menghidupkan kembali fungsi masjid sebagai ruang rekonsiliasi keluarga, ruang dialog pasutri, dan ruang tumbuhnya keteladanan rumah tangga.

Maka, ketika Kemenag juga menyiapkan program Sekolah Relasi Suami Istri (Serasi), kita patut mendukung. Sekolah ini dapat menjadi tempat belajar dan bertumbuh bagi pasutri muda yang masih mencari ritme pernikahan.

Apalagi jika kegiatan ini dilaksanakan di masjid. Inilah bentuk nyata pengembalian marwah masjid, dari yang semula tempat sunyi, menjadi ruang dinamis pembinaan keluarga.

Tentu ini bukan perkara mudah. Dibutuhkan peta jalan yang jelas, data pasutri usia rawan, komitmen lintas sektor, dan tentu… penyuluh agama yang tangguh di garda depan. Tapi bukan berarti mustahil.

Jika dahulu masjid mampu menjadi pusat revolusi sosial Islam, mengapa kini kita tak mampu menjadikannya ruang pembinaan keluarga? Mari jadikan FOREMOST bukan sekadar program, tapi gerakan moral nasional. Karena dari keluarga yang sehat, akan lahir bangsa yang kuat.

Wallahu A’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *