Enimpost.com – Sudah menjadi rahasia umum bahwa ongkos politik yang dibutuhkan para calon anggota legislatif (caleg) di DPRD kabupaten terhitung mahal, Bahkan dibutuhkan dana pribadi hingga 4 miliar untuk menyandang gelar sebagai wakil rakyat.
Dana tersebut baru untuk satu calon, seandainya saja satu partai memiliki 3 sampai 5 caleg dominan dan asumsi modal berkisar di angka 2 miliyar saja, maka tak bisa di pungkiri harga untuk mendapatkan satu kursi dalam satu partai melonjak berkisar 10 Miliyar.
Peristiwa pragmatis pada pileg 2024 kemarin sungguh berpengaruh besar bagi kelangsungan Pilkada beberapa bulan ini.
Di tambah fenomena waktu yang relatif singkat membuat kemungkinan maju di jalur independent terasa mustahil.
Apalagi jika ketentuan pengusungan bakal calon Bupati menggunakan jumlah kursi lama maka mau tidak mau berlaku bola liar, sebab mata rantai partai kecil tumbuh menjadi kekuatan reinkarnasi sebagai balasan atas kekalahan mereka di pileg 2024.
Bisa jadi Partai Bulan Bintang, Partai Berkarya, Partai Hanura, Partai Perindo menjadi tuah Ninggrat penjelmaan detik detik krusial pelengkap pengusung calon pengantin Pilkada.
Gambaran modal kursi yang terlanjur mahal dan bermahar tersebut di sebut wajar dan dan menjadi suatu kebutuhan meskipun harga satu kursi pada akhirnya di tetapkan di angka 2 Miliyar saja per kursi.
Sebagai contoh di Kabupaten Muara Enim, untuk maju sebagai kandidat Bupati di perlukan 9 kursi berkali 2 Miliyar atau dengan harga final 18 Miliyar, dana tersebutpun belum menjadi kepastian.
Bagi calon bupati dapat memenangkan pertarungan, atau masih dibutuhkan sekitar 40 Miliyar untuk pesta makan makan lima tahunan sekali bagi pemilih rasional transaksional, Al hasil kurang lebih 60 Miliyar utuh harus keluar.
Selain dana 60 Miliyar tersebut masih di butuhan dana pinggiran.
Belum lagi untuk mendapatkan rekomendasi partai perlu juga di lakukan pendekatan vertikal dan horizontal alias semua harus di perlakukan sama, dengan pengertian Pengurus DPD, DPW, dan pengurus partai Pusat dalam satu Partai merupakan kesatuan yang tak terpisah dan wajib terurus baik sebagai bentuk komitmen keseriusan bagi Kandidat Bupati.
Kembali ke cerita awal di atas, ketua ketua partai tentulah tidak remeh temeh menjatuhkan pilihan rekomendasi, sebab betapa banyak gotong royong perjuangan para caleg pesakitan sehingga mampu menjadi satu kursi dewan, ketua ketua partai tidak akan menjadi Sengkuni untuk mengejar hasrat pribadi mereka karena resiko dan hukum alam tetap saja berlaku mutlak.
Pengalaman pengalaman penghianatan Bupati terpilih terhadap partai pengusung maupun pendukung yang pernah terjadi sudahlah barang tentu menjadi pengalaman berharga bagi para pengambil kebijakan partai.
Sebab kursi menuju Pilkada Muara Enim bukanlah hasil pemikiran kolot sebuah kebijakan amputasi, yang akhirnya pincang tertatih menjadi penonton di Negeri sendiri.
Mimbar kedua atau bergaining politik panitia seleksi pemilihan bakal calon Bupati Muara Enim nantinya bakal tidak main main melakukan seleksi, apalagi mereka yang berdiri di forum tersebut bukan tidak mungkin para caleg runer up yang masih memiliki ribuan pedukung dengan posisi mesin sudah dipanaskan di pileg kemarin.
Bersambung.
Penulis ( Abi Al Fatih, mantan pengajar Ponpes Thawalib Darussalam Serasan Muara Enim )