enimpost.com,NASIONAL – Komisi VIII DPR RI resmi memberikan lampu hijau atas usulan Kementerian Agama terkait penggunaan uang muka Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahun 1447 H/2026 M. Dana tersebut akan digunakan untuk pemesanan tenda di Armuzna (Arafah, Muzdalifah, Mina) serta layanan Masyair, sebuah keputusan strategis yang dipandang penting demi memastikan jemaah haji Indonesia memperoleh lokasi yang layak dan pelayanan terbaik selama puncak haji.
Keputusan itu disampaikan Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, usai rapat bersama Kemenag, Badan Penyelenggara Haji (BPH), dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Kamis 21 Agustus 2025 di Jakarta. Menurutnya, Komisi VIII memahami urgensi tenggat pembayaran yang telah ditetapkan oleh otoritas Arab Saudi, sehingga langkah percepatan ini harus ditempuh.
“Komisi VIII menyetujui penggunaan uang muka BPIH untuk pemesanan tenda di Armuzna dengan rata-rata biaya 785 riyal per jemaah, serta layanan Masyair sebesar 2.300 riyal per jemaah,” jelas Marwan.
Ia merinci, total kebutuhan dana mencapai lebih dari SAR 627 juta, diperuntukkan bagi 203.320 jemaah reguler pada musim haji mendatang.
Meski disetujui, Komisi VIII menegaskan bahwa penggunaan dana harus tetap berpegang pada regulasi yang berlaku, yakni UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah serta Perpres Nomor 154 Tahun 2024 tentang Badan Penyelenggara Haji.
“Kami minta agar pertanggungjawaban dilakukan secara transparan, akuntabel, dengan tetap menjunjung prinsip syariah dan tata kelola keuangan negara,” tegasnya.
Menag: Pembayaran Mendesak untuk Lindungi Hak Jemaah
Menteri Agama Nasaruddin Umar yang hadir dalam rapat tersebut menegaskan urgensi pembayaran uang muka. Menurutnya, jika Indonesia terlambat menyetor, ada risiko jemaah Tanah Air kehilangan lokasi strategis di kawasan Armuzna.
“Kita adalah pengirim jemaah terbesar di dunia. Jika terlambat, jemaah kita bisa ditempatkan di area yang jauh, sempit, dan minim fasilitas,” ujarnya.
Lebih jauh, Menag mengingatkan soal konsekuensi diplomatik.
“Keterlambatan pembayaran bisa menimbulkan persepsi negatif, baik dari Pemerintah Arab Saudi maupun dari negara-negara lain yang juga menyelenggarakan haji. Sebagai negara dengan jemaah terbesar, reputasi kita ikut dipertaruhkan,” tegasnya.
Pemerintah, lanjut Nasaruddin, tetap menerapkan prinsip kehati-hatian. Perhitungan biaya dilakukan dengan mengacu pada rerata tahun sebelumnya, sehingga tidak menimbulkan beban tambahan yang berlebihan pada anggaran.
“Kami berupaya memastikan dana tersedia tepat waktu, tapi tetap efisien,” jelasnya.
Antisipasi dan Harapan
Langkah cepat Komisi VIII DPR ini menjadi sinyal kuat bahwa negara hadir untuk memberikan kepastian bagi calon jemaah haji. Dengan jumlah kuota lebih dari 200 ribu orang, kebutuhan akan pengelolaan yang presisi dan cepat menjadi keniscayaan. Tidak hanya soal lokasi tenda, namun juga menyangkut layanan dasar yang menentukan kenyamanan dan kekhusyukan ibadah.
Kebijakan penggunaan uang muka BPIH ini sekaligus menunjukkan adanya sinergi antara pemerintah, DPR, dan BPKH dalam menjaga kualitas penyelenggaraan haji Indonesia.
Publik berharap, kebijakan serupa tidak hanya berhenti pada aspek teknis, tetapi juga mendorong peningkatan layanan secara menyeluruh, mulai dari keberangkatan, akomodasi, konsumsi, hingga pemulangan jemaah.
Dengan langkah antisipatif ini, Indonesia berupaya menegaskan posisinya sebagai penyelenggara haji terbesar yang tidak hanya mengandalkan kuantitas jemaah, tetapi juga kualitas pelayanan.
Pada akhirnya, kebijakan ini diharapkan memberi kepastian sekaligus ketenangan bagi calon jemaah haji 2026 yang sudah menanti momen sakral sepanjang hidup mereka.